PSIKOLOGI PENDIDIKAN “faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR

Secara umum factor-faktor yag mempengaruhi proses hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal . kedua factor tersebut saling memengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.

  1. FAKTOR INTERNAL

Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat memengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi factor fisiologis dan faktor psikologis.

1)      Faktor fisiologis

Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Factor-factor ini dibedakan menjadi dua macam :

(1)   Keadaan jasmani.

Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.

Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah :

  1. menjaga pola makan yang sehat dengan memerhatikan nutrisi yang masuk kedalam tubuh, karena  kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu , dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar,
  2. rajin berolah raga agar tubuh selalu bugar dan sehat;
  3. istirahat yang cukup dan sehat.

(2)   Keadaan fungsi jasmani/fisiologis.

Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula dalam proses belajar, merupakan pintu  masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik pendidik maupun peserta didik perlu menjaga panca indra dengan baik, baik secara preventif maupun secara yang bersifat kuratif. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodic, mengonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.

2)      Faktor Psikologis

Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan peserta didik, motivasi , minat, sikap dan bakat.

(1)   Kecerdasan /intelegensia siswa

Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia.

Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar peserta didik, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi inteligensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru/dosen, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru/dosen professional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasannya.

Pemahaman tentang tingkat kecerdasan individu dapat diperoleh oleh orang tua dan guru atau pihak-pihak yang berkepentingan melalui konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga dapat diketahui anak didik berada pada tingkat kecerdasan yang mana, amat superior, superior, rata-rata, atau mungkin malah lemah mental. Informasi tentang taraf kecerdasan seseorang merupakan hal yang sangat berharga untuk memprediksi kemampuan belajar seseorang. Pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik akan membantu mengarahkan dan merencanakan bantuan yang akan diberikan kepada peserta didik.

(2)   Motivasi

Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar peserta didik. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.

Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motaivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah mejadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsic relaatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik).

Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar antara lain adalah:

  1. Dorongan ingin tahu dan ingin menyelisiki dunia yang lebih luas;
  2. Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
  3. Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya.
  4. Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.

Motivasi ekstrinsik adalah factor yang dating dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untauk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, danlain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungansecara positif akan memengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.

(3)   Minat

Secara sederhana, minat (interest) nerrti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.

Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat peserta didik agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapainya atau dipelajaranya.

Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan mebuat materi yang akan dipelajarai semenarik mingkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desai pembelajaran yang membebaskan siswa mengeksplor apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar. Kedua, pemilihan jurusan atau bidang  studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.

(4)   Sikap

Dalam proses belajar, sikap individu dapat memengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relative tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebaginya, baik secara positif maupun negative (Syah, 2003).

Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negative dalam belajar, pendidik sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang professional dan bertanggungjawab terhadap profesi yang dipilihnya. Dengan profesionalitas, seorang pendidik akan berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya; berusaha mengambangkan kepribadian sebagai seorang peserta didik yang empati, sabar, dan tulus kepada peserta didiknya; berusaha untuk menyajikan pelajaran dengan baik dan menarik sehingga membuat peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan; meyakinkan peserta didik bahwa bidang studi yang dipelajari bermanfaat bagi diri peserta didik.

(5)   Bakat

Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat  didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimilki seorang siswa untauk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satukomponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.

Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah mempunyai bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap informasiyang berhungan dengan bakat yang dimilkinya. Misalnya, peserta didik yang berbakat dibidang bahasa akan lebih mudah mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain bahasanya sendiri.

Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimilki setiap individu,maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimilki oleh anaknya atau peserta didiknya, anatara lain dengan mendukung,ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

  1. FAKTOR EKSTERNAL

Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endogen, faktor-faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa.dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu factor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.

1)        Lingkungan Sosial

(1)     Lingkungan social pendidikan, seperti guru/dosen, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antra ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baikdisekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.

(2)     Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajarsiswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.

(3)     Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaankeluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan anatara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.

2)   Lingkungan non sosial.

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah;

(1)     Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan factor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.

(2)     Faktor instrumental,yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar,fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabus dan lain sebagainya.

(3)     Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga denganmetode mengajar guru, disesuaikandengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan konsdisi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Slameto. 2003. Belajar dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta

Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

http://www.pakguruonline.ac.id/belajar. diakses tanggal 12 Agustus 2009

Teori KB

2.1. PERSALINAN
2.1.1. Defenisi
Persalinan dan kelahiran normal adalah suatu proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan, dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam waktu 18 jam tanpa komplikasi pada ibu maupun janin ( Saifuddin, 2002 : 100 ).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain   (Mochtar, 1998 : 91).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau tanpa bantuan (keluar sendiri) (Manuaba, 1998 : 157).

2.1.2.    Teori yang Menyatakan Kemungkinan Proses Persalinan
2.1.2.1.      Teori keregangan
1)    Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu.
2)    Setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat mulai. Contohnya, pada hamil ganda sering terjadi kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga menimbulkan proses persalinan.
2.1.2.2. Teori penurunan progesteron
1)    Proses penurunan plasenta terjadi mulai umur hamil 28 minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu.
2)    Produksi progesteron mengalami penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin.
3)    Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu.

2.1.2.3. Teori oksitosin internal
1)    Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis parsi posterior.
2)    Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi kontraksi Braxton Hicks.
3)    Menurunnya konsentrasi progesteron akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dapat mulai.
2.1.2.4. Teori prostaglandin
1)    Konsentrasi prostaglandin meningkatkan sejak umur kehamilan 15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua.
2)    Pemberian prostaglandin saat hamil dapat menimbulkan kontraksi sehingga hasil konsepsi dikeluarkan.
3)    Prostaglandin dianggap dapat merupakan pemicu terjadinya persalinan.
2.1.2.5.    Teori Hipotalamus-Pituitari dan Glandula Suprarenalis
1)    Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus sering terjadi keterlambatan persalinan karena tidak berbentuk hipotalamus.
2)    Pemberian kortikosteroid yang dapat menyebabkan maturitas janin, induksi (mulainya) persalinan.
3)    Dari percobaan tersebut disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus pituitari dengan mulainya persalinan.
4)    Glandula suprarenal merupakan pemicu terjadinya persalinan.
(Manuaba, 1998 : 159)

2.1.3. Permulaan Terjadinya Persalinan
Sebelum terjadinya persalinan adanya tanda-tanda kala pendahuluan (preparatory stage of labor), yaitu:
2.1.3.1.    Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutam pada primigravida kehamilan 36 minggu.
2.1.3.2.    Perut kelihatan lebih melebar dan fundus uteri turun
2.1.3.3.    Perasaan ingin kencing atau susah kencing (polikisuria) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
2.1.3.4.    Perasaan sakit di perut dan di pinggang karena adanya kontraksi ringan dari uterus dan tertekannya fleksus  Frankehauser yang terletak di sekitar serviks  (panm & pains).
2.1.3.5.    Serviks menjadi lembek, mulai mendatar dan sekresi-nya bertambah, adanya pengeluaran lendir campur darah (bloody show).
(Mochtar, 1998 : 159)

2.1.4. Tanda–Tanda Persalinan
2.1.4.1.    Kekuatan his makin sering terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi yang semakin pendek.
2.1.4.2.    Dapat terjadi pengeluaran pervaginam pembawa tanda (bloody show), karena robekan kecil pada serviks pengeluaran lendir campur darah.
2.1.4.3.    Kadang–kadang disertai pecahnya ketuban.
2.1.4.4.    Pada pemeriksaan dalam dijumpai perubahan serviks (perlunakan, pendatran, dan pembukaan serviks).
(Manuaba, 1998 : 160)

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persalinan
2.1.5.1.   Power ( kekuatan yang mendorong janin keluar )
1)    His / kekuatan otot rahim
2)    Kontraksi otot dinding perut
3)    Ketegangan dan kontraksi otot ligamentum rotundum.
2.1.5.2.   Passanger (faktor janin dan plasenta)
2.1.5.3.    Passage ( faktor jalan lahir )
1)    Bagian keras terdiri dari atas tulang–tulang panggul dan sendinya.
2)    Bagian lunak dari panggul terdiri dari otot dan ligamentum yang meliputi panggul sebelah luar, tengah, dan dalam.
(Mochtar, 1998 : 93 )

2.1.6. Tahap-tahap persalinan
2.1.6.1.    Kala I (pembukaan), dimulai dari adanya pembukaan serviks sampai pembukaan lengkap (10 cm)
1)    Tahapan kala I
(1)    Fase laten
Pembukaan serviks berlangsung lambat, sampai pembukaan 3cm, berlangsung dalam 7-8 jam.
(2)    Fase aktif
Berlangsung selama 6 jam, dibagi atas 3 subfase:
1.    Periode akselerasi : berlangsung selama 2 jam dengan pembukaan serviks 4 cm
2.    Periode dilatasi maksimum (steady) : berlangsung selama 2 jam, pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm
3.    Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam waktu pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap
Pada primigravida, fase di atas dilalui dengan serviks yang mendatar (effacement) terlebih dahulu, baru dilatasi. Ini berlangsung 13-14 jam. Sedangkan pada multigravida, serviks bisa mendatar dan membuka pada waktu yang bersamaan. Ini berlangsung 6-7 jam.
(Mochtar, 1998 )
2) Perubahan kala I
(1)    Perubahan fisiologis:
1.    Pembentukan segmen atas rahim (SAR) dengan segmen bawah rahim (SBR)
2.    Pembentukan lingkaran retraksi atau batas pinggir antara segmen atas rahim (SAR) dengan segmen bawah rahim (SBR)
3.    Pendataran dan pembukaan serviks
(2)    Perubahan psikologis
1.    Ibu merasa gelisah dan cemas
2.    Dalam waktu antara kontraksi ibu seolah-olah hilang ingatan
3.    Merasa mual dan muntah.

3) Asuhan yang diberikan pada kala I :
(1)    Pemantauan kemajuan persalinan
1.    Kondisi janin  : DJJ, molase, dan ketuban
2.    Kemajuan persalinan : pembukaan serviks penurunan kepala dan his
3.    Kondisi ibu : vital sign, cairan, obat-obatan, dan urine
(2)    Kehadiran seorang pendamping
(3)    Menjaga kebersihan ibu
(4)    Pengurangan rasa sakit dengan sentuhan dan masase, pijatan ganda pada panggul, penekanan pada lutut dan menganjurkan ibu untuk menarik nafas yang dalam dan melepaskannya secara perlahan.
(5)    Nutrisi dan hidrasi
(6)    Eliminasi BAK dan BAB
(7)    Persiapan persalinan baik ibu, penolong dan alat serta obat-obatan
2.1.6.2.  Kala II  (pengeluaran), dimulai dari pembukaan lengkap sampai keluarnya bayi.
1)  Tanda dan gejala kala II :
(1)    Ibu merasa ingin meneran bersama dengan kontraksi
(2)    Adanya tekanan pada rectum dan vagina
(3)    Perineum menonjol
(4)    Vulva, vagina, spincter ani membuka
Lamanya kala II pada primigravida ± 1,5 jam dan pada multipara
± 0,5 jam  ( Sarwono, 2002 : 184).
2)  Perubahan kala II:
(1)    Perubahan fisiologis:
Dinding segmen atas rahim (SAR) bertambah tebal dengan majunya persalinan yang dapat mendorong anak keluar. Segmen bawah rahim (SBR) menipis karena diregang (relaksasi dan dilatasi).

(2)    Perubahan psikologis
1.    Ibu merasa khawatir terhadap keselamatan diri dan janinnya
2.    Ibu merasa ingin buang air besar
3.    Semangat ibu timbul karena ingin segsra melahirkan bayinya
3)   Asuhan yang diberikan pada kala II :
(1)    Pemantauan kemajuan persalinan
(2)    Nutrisi dan hidrasi
(3)    Eliminasi bimbingan meneran
(4)    Membantu kelahiran bayi
1.    posisi ibu
2.    pencegahan laserasi
3.    melahirkan kepala sampai dengan badan bayi secara  keseluruhan
2.1.6.3.  Kala III (kala  uri), dimulai setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta
1) Tanda pelepasan plasenta :
(1)    Perubahan bentuk TFU
(2)     Tali pusat  memanjang
(3)    Semburan darah tiba-tiba
2)  Manajemen aktif kala III
Tujuan  manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat memperpendek waktu kala III persalinan dan mengurangi kehilangan darah.
Manajemen aktif kala III meliputi:
(1)    Pemberian suntikan oksitosin
(2)    Melakukan penegangan tali pusat terkendali
(3)    Pemijatan fundus uteri ( masase )
(Depkes, 2004)
3)  Cara pelepasan Uri
(1)    Schultze, lepasnya uri seperti menutup payung (80 %), yang lepas dulu adalah bagian tengah, lalu terjadi retroplasental hematoma yang menolak uri mula–mula bagian tengah dan seluruhnya. Menurut cara ini perdarahan biasanya tidak ada selama uri lahir dan banyak setelah uri lahir.
(2)    Duncan, lepasnya uri mulai dari pinggir. Jadi pinggir uri lahir duluan (20%). Darah akan mengalir keluar antara selaput ketuban serempak dari tengah dan pinggir plasenta.
(Mochtar, 1998)
4)   Perasat–perasat untuk melepaskan Uri
(1)    Kustner, dengan meletakkan tangan disertai tekanan di atas simphisis, tali pusat ditegangkan, maka bila tali pusat masuk…. belum lepas, diam atau maju … sudah lepas.
(2)    Klein, sewaktu ada his, rahim didorong sedikit, bila tali pusat kembali…. belum lepas, diam…. sudah lepas
(3)    Strassman , tegangkan tali pusat dan ketok pada fundus, bila tali pusat bergetar, rahim belum lepas… tidak bergetar…. sudah lepas ( Mochtar, 1998 )
2.1.6.4.  Kala IV  ( Pengawasan ), dimulai setelah plasenta lahir sampai 2 jam post partum.
1)    Lakukan pemijatan uterus untuk merangsang uterus berkontraksi
2)    Evaluasi tinggi uterus
3)    Perkirakan kehilangan darah secara keseluruhan, salah satu caranya adalah memperkirakan berapa banyak botol berukuran 500 ml yang bisa dipenuhi darah tersebut
4)    Periksa apakah ada laserasi jalan lahir dan episiotomi
5)    Evaluasi keadaan ibu secara umum
6)    Dokumentasikan semua hasil pemeriksaan pada halaman belakang partograf.
(Depkes, 2004)

2.1.7. Perubahan Fisiologis Persalinan
2.1.7.1.   Pengeluaran energi
Pengeluaran energi ekstra mengakibatkan peningkatan energi panas dan berkeringat yang dapat menyebabkan kehilangan cairan tubuh.
2.1.7.2       Suhu tubuh
Suhu tubuh agak meningkat selama melahirkan karena peningkatan metabolisme terutama setelah melahirkan, mencapai 0,5°C sampai 1°C.
2.1.7.2       Tekanan darah
Kenaikan terjadi selama kontraksi, sistole rata–rata 10-20 mmHg. Rasa takut dan cemas juga menaikan tekanan darah.
( Ladewig, 2006)

2.1.8. Partograf
2.1.8.1. Defenisi
Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik (Depkes, 2008 : 55).

2.1.8.2. Tujuan penggunaan partograf
1)    Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan serviks melalui pemeriksaan dalam.
2)    Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan demikian juga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya partus lama.
3)    Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi, grafik kemajuan proses persalinan, bahan dan medikamentosa yang diberikan, pemeriksaan laboratorium, membuat keputusan klinik dan asuhann atau tindakan yang diberikan dimana semua itu dicatatkan secara rinci pada status atau rekam medik ibu bersalin dan bayi baru lahir.
(Depkes, 2008 : 55)

2.1.8.3. Pencatatan selama fase aktif persalinan
1)    Informasi tentang ibu
2)    Kondisi janin
3)    Kemajuan persalinan
4)    Jam dan waktu
5)    Kontraksi uterus
6)    Obat-obatan dan cairan yang diberikan
7)    Kondisi ibu
8)    Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya
( Depkes, 2008 : 56-57)

2.1.8.4. Pemantauan
Tabel 4
Frekuensi Minimal Penilaian dan Interventasi dalam Persalinan Normal

Parameter    Frekuensi pada fase laten    Frekuensi pada fase aktif
Tekanan darah    Setiap 4 jam    Setiap 4 jam
Suhu badan    Setiap 4 jam    Setiap 2 jam
Nadi    Setiap 30-60 menit    Setiap 30-60 menit
Denyut jantung janin    Setiap 1 jam    Setiap 30 menit
Kontraksi    Setiap 1 jam    Setiap 30 menit
Pembukaan serviks    Setiap 4 jam *    Setiap 4 jam *
Penurunan    Setiap 4 jam *    Setiap 4 jam *
*Dinilai pada setiap pemeriksaan dalam
(Saifuddin, 2002 : 104)

2.1.8.5. Mencatat temuan pada partograf
1)  Informasi tentang ibu
Meliputi nama, umur, gravida, tanggal dan waktu mulai dirawat, waktu pecahnya selaput ketuban.
2)  Kesehatan dan kenyamanan bayi
(1)    DJJ
Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf antara garis tebal angka 100-180,  tetapi penolong harus waspada bila DJJ dibawah 120 atau diatas 160.
(2)    Warna dan keadaan air ketuban
Catat temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ dengan mengunakan tanda:
U : ketuban utuh ( belum pecah )
J  : ketuban sudah pecah dan berwarna jernih
M : ketuban sudah pecah dan bercampur dengan mekonium
D  : ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur dengan darah
K  : ketuban sudah pecah dan tidak ada air ketuban (kering)

(3)     Moulage
Setiap kali melakukan pemeriksaan nilai penyusupan janin. Catat temuan pada kotak yang sesuai di bawah lajur air ketuban, dengan menggunakan tanda :
0:  tulang – tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dipalpasi
1:  tulang- tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
2: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa   dipisahkan
3:   tulang- tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan
3)  Kemajuan persalinan
(1)    Pembukaan serviks
Beri tanda untuk temuan–temuan dari pemeriksaan dalam yang dilakukan pertama kali selama fase aktif persalinan di garis waspada. Hubungkan tanda “ X “ dari setiap hasil pemeriksaan dengan garis utuh.
(2)     Penurunan bagian terbawah
Pada persalinan normal, setiap kemajuan persalinan diikuti dengan penurunan bagian terbawah  janin. Tapi ada kalanya, turunnya bagian terbawah janin baru terjadi setelah pembukaan serviks sebesar 7 cm.
(3)     Garis waspada dan garis bertindak
Jika pembukaan serviks berada di sebelah kanan garis bertindak, maka tindakan untuk menyelesaikan persalinan harus dilakukan. Ibu harus berada di tempat rujukan sebelum garis bertindak terlampaui.
4)   Jam dan waktu
(1)    Waktu mulainya fase aktif persalinan
(2)    Waktu aktual saat melakukan pemeriksaan  atau penilaian.

5)   Kontraksi uterus
Nyatakan lamanya kontraksi dengan :
Beri titik-titik di kotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang lamanya kurang dari 20 detik

Beri garis-garis dikotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang lamanya 20–40 detik

Isi penuh kotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang lamanya lebih dari 40 detik
.
5

4

3

2

1

0
1                2                3

Dalam waktu 30 menit pertama :
(1)       Dua kontraksi dalam 10 menit
(2)       Lamanya kurang dari 20 menit
Dalam waktu 30 menit yang kelima :
(1)     Tiga kontraksi dalam waktu 10 menit
(2)     Lamanya 20 – 40 menit
Dalam waktu 30 menit ketujuh :
(1)     Lima kontraksi dalam 10 menit
(2)     Lamanya lebih dari 40 detik

6)  Obat-obatan dan cairan yang diberikan
(1)    Oksitosin
(2)    Obat-obatan lain dan cairan infus

7)    Kondisi ibu
(1)    Nadi, tekanan darah, temperatur tubuh
(2)    Volume urine, protein, atau aseton
8)    Asuhan pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom yang tersedia disisi partograf)
(1)    Jumlah cairan peroral yang diberikan
(2)    Keluhan sakit kepala atau penglihatan kabur
(3)    Konsultasi dengan penolong persalinan lainnya
(4)    Persiapan sebelum melakukan rujukan
(5)    Upaya rujukan
(Depkes, 2008 : 57-64)

2.2.9. Robekan perineum
2.2.9.1.     Derajat satu, laserasi superfisial, otot-otot yang mendasari tidak mengalami kerusakan.
2.2.9.2.    Derajat dua, lasuerasi termasuk robeknya otot-otot perineal.
2.2.9.3.    Derajat tiga, kerusakan termasuk kerusakan sfingter ani eksternal parsial atau seluruhnya.
2.2.9.4.    Derajat empat, terdapat kerusakan sfingter eksternal dan internal serta mukosa rektal seluruhnya.
(Liu, 2007 : 136)

2.2. PRE-EKLAMPSIA
2.2.1. Pengertian
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang yang timbul karena kehamilan.penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Wiknjosastro, 2005: 282).
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre eklamsia, kenaika tekanan sistolik harus 30 mmhg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmhg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmhg atau lebih, atau menjadi 90 mmhg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat (Wiknjosastro, 2005: 282).
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka.edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre eklampsia (Wiknjosastro, 2005: 282).
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2 + atau 1 g/l atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan cateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam (Wiknjosastro, 2005: 282).

2.2.2. Pembagian Pre-eklampsia
2.2.2.1.    Pre eklampsia berat
1)    Tekanan sistolik 160 mmhg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmhg atau lebih
2)    Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam 3 atau 4+ pada pemeriksaan kualitatif
3)    Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4)    Keluhan selebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5)    Edema paru-paru atau sianosis (Wiknjosastro, 2005: 282).
2.2.2.2.    Pre eklampsia ringan
1)    Tekanan diastolik 90-110 mmhg (2 pengukuran berjarak 4 jam) pada kehamilan >20 minggu
2)    Proteinuria  sampai ++ (Saifuddin, 2002: 35)
2.2.3. Penanganan Pre-eklampsia Ringan
Jika kehamilan < 37 minggu, dan tidak ada tanda-tanda perbaikan lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan
2.2.3.1.    Pantau tekanan darah, proteinuria, reflek, dan kondisi janin
2.2.3.2.    Lebih banyak istirahat
2.2.3.3.    Diet biasa
2.2.3.4.    Tidak perlu diberi obat-obatan
2.2.3.5.    Jika rawat jalan tidak mungkin raweat dirumah sakit
1)    Diet biasa
2)     Pantau tekanan darah 2 kali sehari, proteinuria 1 kali sehari
3)    Tidak perlu obat-obatan
4)    Tidak perlu diuretic, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis atau gagal ginjal akut
5)    Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan
(1)    Nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda pre eklampsia berat
(2)    Control 2 kali seminggu
(3)    Jika tekanan diastolik naik lagi→rawat kembali
6)    Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan →tetap dirawat
7)    Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan
8)    Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai pre eklampsia berat
2.2.3.6.    Jika serviks matang lakukan induksi dengan oxitosin 5 IU dalam 500 ml dekstrose IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin
2.2.3.7.    Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol, atau catater foley, atau terminasi dengan seksio sesarea
(Saifuddin, 2002 : 211-212)

2.2.4.    Penanganan pre-eklampsia berat
2.2.4.1. Penanganan kejang
1)    Beri obat anti konvulsan
2)    Perlengkapan untuk penanganan kejang ( jalan nafas, sedotan, masker oksigen, oksigen).
3)    Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.
4)    Aspirasi mulut dan tenggorokan.
5)    Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelendburg untuk mengurangi resiko aspirasi.
6)    Beri oksigen 4-6 liter /menit
(Saifuddin, 2002: 212)
2.2.4.2. Penanganan umum
1)    Jika tekanan diastolic lebih dari 110 mmhg, berikan anti hipertensi, sampai tekanan diastiolik diantara 90-100 mmhg
2)    Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar
3)    Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi over load
4)    Cateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.
5)    Jika jumlah urine kurang 30 ml/jam:
(1)    Infuse cairan dipertahankan 1/8 jam
(2)    Pantau kemungkinan edema paru
6)    Jangan tinggalkan pasien sendirian.Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7)    Observasi tanda-tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap jam.
8)    Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika ada edema paru, stop pemberian cairan, dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg IV.
9)    Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit kemungkinan terdapat koagulopati.
(Saifuddin, 2002 : 212)

laparatomi dan kehamilan ektopik terganggu

LAPAROTOMI

Tinjauan teoritis

Laparotomy adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen (bagian perut). Kata “laparotomy” pertama kali digunakan untuk merujuk operasi semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant. Kata tersebut terbentuk dari dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan.

Laparotomy dilakukan untuk memeriksa beberapa organ di abdomen sebelah bawah dan pelvis (rongga panggul). Operasi ini juga dilakukan sebelum melakukan operasi pembedahan mikro pada tuba fallopi.

Pengertian

Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.

Ada 4 cara, yaitu;

  1. Midline incision
  2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
  3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
  4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.

Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen (Spencer), Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (1997), bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: herniotorni, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/splenotomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.

Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatorni adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo), yaitu: histerektomi baik itu histerektoini total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi pelvic dan salpingo¬-coforektomi bilateral.

Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, menurut Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih.

Ada 4 (empat) cara, yaitu :

a.Midline incision

2,5 cm), panjang (12,5 cm).b.Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (

c.Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

d.Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian  4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasibawah  appendictomy. (Sjamsuhidajat R, Jong WD)

SEKSIO SESAREA

Pengertian

Seksio sesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Dewasa ini jauh lebih aman dari pada dahulu berhubung dengan adanya antibiotik, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna, dan anestesia yang lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan untyuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Dalam hubungan ini perlu dingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu merupakan seorang yang mempunyai parut dalam uterus, dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermar berhubung dengan bahaya ruptura uteri, walaupun bahaya- dengan teknik yang sempurna- tidak besar.

Menurut statistik tentang 3509 kasus seksio sesarea yang disusun oleh Peel dan Chamberlain (1968) indikasi untuk seksio sesarea ialah :

Disproposi janin- panggul               21 %

Gawat janin                                     14 %

plasenta previa                                11 %

pernah seksio sesarea                      11 %

Kelainan letak                                  10 %

Incoordinate uterine action              9 %

Pre-eklampsia dan hipertensi           7 %

Dengan angka ibu sebelum dikoreksi 17 %0 dan sesudah dikoreksi 0,58 %0, sedangkan kematian janin 14,5 %0. Pada 774 persalinan yang kemudian terjadi, terdapat 1,03 %0 ruptura uteri. Seksio sesarea yang diselengggarakan pada wanita karena pernah mengalami seksio sesarea, banyak dilakukan di Amerika Serikat. Mengingat bahwa bahaya terjadinya ruptur uteri sesudah seksio seserea yang dilakukan disegmen bawah uterus tidak begitu besar, di sini diambil sikap untuk membolehkan wanita hamil demikian itu untuk bersalin per vaginam, kecuali jika sebab seksio seserea tetap ada, misalnya kesempitan panggul. Akan tetapi sebaiknya wanita tersebut bersalin di rumah sakit dan sudah dirawat beberapa hari sebelum tanggal persalinan yang diperkirakan ; selanjutnya perlu diusahakan supaya kala II tidak berlangsung lama.

Masih perlu disebut seksio sesarea postmortum yakni apabila wanita hamil-tua mendadak meninggal, misalnya karena kecelakaan ; apabila setelah ia benar- benar meninggal denyut jantung janin masih terdengar, dengan segera perut dan uterus dibuka. Kadang- kadang janin dapat diselamatkan.

Mengenai kontraindikasi, perlu diingat bahwa seksio seserea dilakukan baik untuk kepentingan ibu maupun untuk kepentingan anak ; oleh sebab itu seksio seserea tidak dilakukan – kecuali dalam keadaan terpaksa- apabila misalnya janin sudah meninggal dalam uterus, atau apabila janin terlalu kecil untuk hidup di luar kandungan, atau apabila janin terbukti menderita cacat seperti hidrosefalus, anensefalus, dan sebagainya.

Pada infeksi intrapartum, mengingat bahaya bagi ibu, seksio seserea juga dilakukan dalam keadaan terpaksa. Dalam hal ini pada seorang multipara perlu dipertimbangkan untuk- sesudah melahirkan anak dengan seksio sesarea – melakukan histerektomi.

Dinegara – negara maju frekuensi seksio sesarea antara 1,5 dan 7 % dari semua persalinan.

Dikenal beberapa jenis seksio sesarea, yakni : 1) seksio sesarea transperitonealis profunda ; 2) seksio sesarea klasik atau seksio sesareakorpral : dan 3) seksio sesarea ekstraperitoral.

Pembedahan dewasa ini paling banyak dilakukan ialah seksio sesarea trasperintonealis profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.

Keunggulan pembedahan ini ialah :

a)      Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak ;

b)      Bahaya peritonitis tidak besar ;

c)      Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri di kemudian hari besar karenba dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.( Saworno, 2002 )

Pengelolaan Kehamilan Dan Persalinan Pada Bekas Sectio Caesarea

  1. Seorang wanita yang telah mengalami SC sebaiknya tidak hamil selama 2 tahun.

Apabila wanita hamil setelah mengalami Sectio Caesarea ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan :

– Versi luar tidak boleh dilakukan.

– Wanita harus dirawat mulai kehamilan 38 minggu.

  1. Semua wanita dengan bekas Sectio Caesarea harus melahirkan di Rumah Sakit Besar.

Dibagian Kebidanan RSHS pengelolaan persalinan dengan bekas SC adalah sebagai berikut :

–    Apabila SC yang sebelumnya adalah SC klasik maka harus dilakukan SC primer.

–    Apabila sebab SC tetap (seperti panggul sempit absolut), harus dilakukan SC primer.

Bila sebab SC tidak tetap dan persalinanya lancar, wanita diperbolehkan melahirkan per vagiman dengan ketentuan sebagai berikut :

–    Tidak dibenarkan pemakaian oxytocin dalam kala I untuk memperbaiki his.

–    Kala II harus dipersingkat :

Wanita diperbolehkan mengedap 15 menit.

Jika dalam waktu 15 menit ini bagian terendah anak turun dengan pesat, maka wanita wanita diperbolehkan lagi mengedap selama 15 menit.

HISTEREKTOMI

Histerektomi dalam kebidanan dapat dilakukan sesudah: a) seksio sesaria; b) persalinan per vaginam; c) terjadi ruptur uteri.

Pengangkatan uterus sesudah seksio sesaria diselenggarakan pada infeksi intrapartum yang berat, pada perdarahan karena atonia uteri yang tidak dapat diatasi oleh tindakan lain, pada uterus miomatasus dengan mioma yang besar dan/atau banyak, dan pada karsinoma servisis uteri yang masih dapat dioperasi dalam hal yang terakhir ini sebaiknya dilakukan histerektomi menurut Wertheim.

Apabila sebelum operasi sudah ada maksud untuk melakukan histerektomi, umumnya lebih mudah untuk melahirkan janin dengan seksio sesarea klasik; sesudah luka pada dinding uterus ditutup dengan beberapa jahitan pembedahan diteruskan.

Terapi yang terbaik pada ruptur adalah histerektomi, walaupun pada kasus tertentu kadang-kadang dapat dilakukan jahitan pda robekan tersebut. Dalam hal yang terakhir ini sebaiknya dilakukan sterilisasi. Pada ruptura uteri janin sudah meninggal dan sering kali untuk sebagian atau seluruhnya masuk dalam rongga perut. Dalam keadaan demikian dilakukan laparotomi janin dan plasenta apabila yang akhir ini sudah lepas – dilahirkan, dan seterusnya uterus diangkat supravagina.

Teknik

Histerektomi dalam kebidanan biasanya dilakukan dengan meninggalkan adneksa kanan dan kiri. Ligamenta rotunda kanan dan kiri dipotong kira-kira 1,5 cm dari uterus dan diikat pada potongan medial dan lateral. Jari telunjuk penolong ditekankan kedepan mulai dari dinding belakang ligamentum latum di bawah ligamentum ovari proprium dekat pada pinggir uterus dan menembus ligamentum latum pada tempat pemotongan ligamentum rotundum, setelah dipasang dua cunam, tuba dan ligamentum ovari proprium dipotong dan diikat pada potongan media dan lateral. Tindakan yang sama dilakukan disebelah yang lain. Kemudian peritoneum pada plika vesiko-uterina pada garis tengah dibuka, dan insisi diteruskan ke lateral kanan dan kiri sampai potongan ligamentum rotundum. Dengan jari dibungkus, dengan kain kassa, kandung kencing dan peritoneum dengan hati-hati didorong kebawah dan dilepas dari bagian bawah uterus; disamping itu jaringan ligamentum  latum yang terbuka  didorong ke bawah lateral untuk menjauhkan ureter dari uterus. Peritoneum pada lapisan belakang ligamentum latum digunting p[ada pinggir uterus kanan dan kiri, kemudian vasa uterina kanan dan kiri dengan cabang-cabangnya dapat dijepit dekat pada uterus, digunting dan diikat dan dengan catgut yang kuat.

Pada histerktomi supravaginal atau subtotal, servik uteri bagian atas dipegang dengan cunam serviks;dibawahnya dipasang 1 cunam lagi dan serviks dipotong diantara 2 cunam tersebut. Setelah perdarahan yang ada rawat, luka pada serviks uteri yang ditinggalkan dijahit dengan catgut kuat, dan akhirnya diadakan peritoneisasi sisa serviks, ujung ligamentum rotundum dan adneksa yang telah dipotong, di sebelah kiri dan kanan. Akhirnya luka dinding perut ditutup secara biasa.

Pada histerektomi total kandung kencing dilepaskan lebih ke bawah lagi sampai vagina bagian atas; pada dinding belakang uterus sedikit di atas hubungannya dengan ligamenta sakro-uterina, diadakan insisi melintang sepanjang kira-kira 1,5 cm, dan dari lobang itu dilakukan pelepasan vagina dari rectum. Ujung ligamentum sakrouterina kanan dan kiri dipotong dan diikat, dan setlah pinggir serviks uteri kanan dan kiri dipisahkan dari jaringan parametrium (setelah dijepit dengan cunam lurus), vagina didepan dibuka, dan dari luka itu uterus dipotong dari vagina. Setelah semua perdarahan dirawat dengan seksama, vagina ditutup dengan menjahitkan dinding depan dengan dinding belakang. Akhirnya dilakukan peritoneisasi seperti disebut diatas.

Pada hamil tua, khususnya jika persalinan sudah berlangsung dan sudah ada pembukaan serviks uteri yang cukup besar, kadang-kadang sulit untuk menetapkan di mana serviks berhenti dan vagina mulai. Kadang-kadang dikira menyelenggarakan histerektomi total, teapi kemudian ternyata masih ada sisa serviks uteri.

Pada ruptur uteri perdarahan yang masih ada dirawat dahulu, kemudian ligamenta rotunda dan adneksa kanan dan kiri dipotong seperti dikemukakan di atas. Pada tempat ruptur biasanya peritoneum di depan uterus terbuka. Pembukaan ini diteruskan ke sebelah yang tidak sobek, dan kandung kencing didorong ke bawah. Setelah vasa uterina di sebelah yang tidak robek dipotong dan diikat, dan pinggir serviks uteri dipisahkan dari jaringan parametrium, mulai dari ujung depan ruptur uteri dilakukan pemotongan uterus dari jaringan di bawahnya dengan pengikisan sirkuler sampai ujung belakang robekan. Perdarahan dirawat dengan seksama dan luka di bawah uterus yang telah diangkat ditutup dengan jahitan simpul. Akhirnya dilakukan peritoneisasi, dan luka dinding perut ditutup secara biasa.

Perlu diselidiki sebelum peritoneisasi apakah pada ruptur uteri kandung kencing tidak ikut terbuka. Apabila terbuka, luka ditutup dengan 2 lapisan jahitan chroomcatgut yang tidak menembus selaput lender, dan kemudian dipasang dauercatbetter untuk 1 minggu.

HISTEROTOMI

Histerotomi sebagai pembedahan dengan membuka dinding depan uterus untuk mengeluarkan isinya pada kehamilan sebelum 28 minggu telah dibahas dalam bab sebelumnya.

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Tinjauan Teoritis

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu.

Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter karena sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu. Tidak jarang yang menghadapi penderita, untuk pertama kali adalah dokter umum/ dokter ahli lainnya. Maka daripada itu perlu diketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan ektopik terganggu serta diagnosis diferensialnya. Hal yang perlu diingat ialah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan/ keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kehamilan ektopik terganggu.

Pengertian

Kehamilan ektopik ialah kehamilan dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal, yakni dalam endometrium kavum uteri. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat pada istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga banyak dipakai oleh karena terdapat beberapa jenis kehamilan ektopik yang berimplantasi dalam uterus tetapi tidak pada tempat yang normal, misalnya kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kehamilan pada servik uteri.

Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan :

  1. Tuba fallopii
    1. Pars interstisialis
    2. Isthmus
    3. Ampulla
    4. Infundibulum
    5. Fimbria
    6. Uterus
      1. Kanalis servikalis
      2. Divertikulum
      3. Kornua
      4. Tanduk rudimenter
      5. Ovarium
      6. Intraligamenter
      7. Abdominal
        1. Primer
        2. Sekunder
      8. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 25-35 tahun frekuensi kehamilan ektopik dilaporkan 1 diantara 300, akan tetapi mungkin angka ini terlampau rendah. Mungkin pemberian antibiotic pada infeksi pelvic khususnya gonorea memperbesar kehamilan ektopik, oleh karena pengobatan tersebut kemungkinan hamil masih terbuka, namun perubahan pada endosalping menghambat perjalanan ovum yang dibuahi menuju uterus. Diantara kehamilan ektopik, yang terbanyak ialah terjadi di tuba (90%) khususnya di ampulla dan diisthmus maka dari itu pembahasan ini dipusatkan pada kehamilan tuba.

Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur dibagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.

  1. Faktor dalam lumen tuba :

a)      Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping, sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;

b)      Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini sering disertai gangguan fungsi silia endosalping;

c)      Operasi plastic tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba menyempit.

  1. Faktor pada dinding tuba;

a)      Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba;

b)      Divertikel tuba congenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang dibuahi di tempat itu.

  1. Faktor diluar dinding tuba:

a)      Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur;

b)      Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.

  1. Faktor lain:

a)      Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri – atau sebaliknya – dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus; pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi premature

b)      Fertilisasi in vitro

Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.

Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung kepada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus.

Gambaran klinik

Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan penderita

Maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek, walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.

Gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda dari perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.

Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi, setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diagframa, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri.

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan dikemukakan dari 51 hingga 93 %. Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.

Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Lamanya amenora tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenora karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenora yang dikemukakan berbagai penulis berkisar dari 23 hingga 97%.

Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan – pada pemeriksaan vaginal – bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, demikian pula kavum Douglas menonjol dan nyeri pada perabaan. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor disamping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok.

Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut samapi gejala-gejala yang samara-samar, sehingga sukar membuat diagnosis.

Gambaran Gangguan Atipik

Kadang-kadang gambaran klinik begitu tidak jelas, sehingga diagnosis tidak dibuat. Tidak jarang pada keadaan ini penderita diobati untuk infeksi pelvic selama beberapa minggu sebelum keadaan yang sebenarnya diketahui. Pada beberapa keadaan diagnosis kehamilan ektopik baru dibuat pada laparotomi.

Diagnosis

Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum terganggu demikian besarnya, sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus tuba atau ruptur tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Bila diduga ada kehamilan ektopik yang belum terganggu, maka penderita segera dirawat di rumah sakit. Alat Bantu diagnostic yang dapat digunakan ialah ultrasonografi, laparoskopi atau kuldoskopi.

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali. Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap wanita dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan yang cermat diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat Bantu diagnostic seperti kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih diperlukan Anamnesis. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapat dinyatakan. Perdarahan per vaginam terjadi setelah nyeri perut bagian bawah.

Pemeriksaan umum. Penderita tampak kesakitan dan pucat; pada perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis tidak mendadak perut bagian bawah hanya sedikit mengembung dan nyeri tekan.

Pemeriksaan ginekologi. Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan nyeri-nyeri menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik, sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik.

Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan haemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa penurunan haemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.

Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvic, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila positif. Akan tetapi, tes negative tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negative.

Dilatasi dan kerokan. Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan ektopik tidak dianjurkan. Berbagai alas an dapat dikemukakan a). kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik; b) hanya 12 sampai 19% kerokan pada kehamilan ektopik menunjukkan reaksi desidua; c) perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan perdarahan terdiri atas desidua tanpa villi koriales, hal itu dapat memperkuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.

Kuldosentesis. Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah. Cara ini amat berguna dalam membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.

Teknik :

  1. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
  2. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
  3. Speculum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks; dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
  4. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglas dan dengan semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
  5. Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan;

a)      Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk;

b)      Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.

Ultrasonografi. Ultrasonografi berguna dalam diagnostic kehamilan ektopik. Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantong gestasi di luar uterus yang di dalamnya tampak denyut jantung janin. Hal ini hanya terdapat pada + 5% kasus kehamilan ektopik. Walaupun demikian, hasil ini masih harus diyakini lagi bahwa ini bukan berasal dari kehamilan intrauterine pada kasus uternus bikornis.

Laparoskopi. Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat Bantu diagnostic terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostic yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.

Diagnosis diferensial

Walaupun pada umumnya – jika dipikirkan – diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat dibuat, beberapa keadaan patogik, seperti infeksi pelvic, abortus imminens, kista folikel, atau korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai, dan appendicitis dapat memberikan gambaran klinik yang hamper sama.

Infeksi pelvic. Gejala yang menyertai infeksi pelvic biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah mengalami amenora. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi pelvic perbedaan suhu rectal dan ketiak melebihi 0,5 derajat Celcius; selain itu, leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik dan tes kehamilan negatif.

Abortus imminens atau insipiens. Perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah amenora, rasa nyeri yang lebih kurang berlokasi di daerah median dan bersifat mules lebih menunjukkan kea rah abortus imminiens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau dibelakang uterus, dan gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.

Ruptur korpus lutenum. Peristiwa ini biasanya terjadi pada pertengahan siklus haid. Perdarahan per vaginam tidak ada dan tes kehamilan negatif.

Torsi kista ovarium dan appendicitis. Gejala dan tanda kehamilan muda, amenorea, dan perdarahan per vaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat daripada kehamilan ektopik. Pada appendicitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan serviks tidak seberapa nyata seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian bawah pada appendicitis terletak pada titik McBurney. Kesalahan diagnosis pada kedua keadaan itu tidak menjadi soal karena keduanya memerlukan operasi juga.

Penanganan

Penanganan kehamilan ektopik pada umunya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya. Lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomic organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomia.

Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampullaris tuba yang belum pecah pernah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Criteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah 1) kehamilan di pars ampullaris tuba belum pecah; 2) diameter kantong gestasi < 4 cm; 3) perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml; 4) tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum Faktor 0.1 mg/kg 1 M berselang-seling setiap hari selama 8 hari. Dari seluruh 6 kasus yang diobati satu kasus dilakukan salpingektomia pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik.

KEHAMILAN PARSINTERSTIALIS TUBA

Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada para interstisialis tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya merupakan 1% dari semua kehamilan tuba. Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera dioperasi maka akan menyebabkan kematian.

COMBINED EKTOPIK PREGNANCY

Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauerin. Keadaan ini disebut combined ektopik pregnancy. Pada umumnya dignosis kehamilan tersebut dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditentukan selain kehamilan ektopik – uterus yang membesar sesuai dengan tua kehamilan, dan 2 korpora lutea. Pengamatan lebih lanjut adanya kehamilan intrauterine menjadi lebih jelas.

KEHAMILAN OVARIAL

Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari Spielberg, yakni 1) tuba pada sisi kehamilan harus normal; 2) kantong janin harus berlokasi pada ovarium; 3) kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium; 4) jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin.

Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut.

KEHAMILAN SERVIKAL

Kehamilan ini sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam kanalis servikalis maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi per vaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomia natalis.

KEHAMILAN EKTOPIK LANJUT

Kehamilan ini pada umumnya terjadi setelah ruptur tuba atau abortus tuba dan selanjutnya janin dapat tumbuh terus karena dapat cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang dapat meluaskan insepsinya pada jaringan sekitarnya seperti tuba, uterus, dinding panggul, usus dan sebagainya.

Gambaran klinik

Keadaan janin pada kehamilan ektopik lanjut yang biasanya terletak pada kantong janin umumnya tidak baik dan sebagian besar meninggal. Selain itu, sering ditemukan kelainan congenital karena sempitnya ruangan untuk tumbuh. Bila janin meninggal setelah mencapai umur tertentu, sukar untuk diresorbsi, sehingga akan mengalami supurasi, klasifikasi. Pada supurasi bila kantong janin pecah infeksi bias menyebar; jika penderita tidak meninggal maka akan ada kemungkinan bahwa bagian-bagian janin dikeluarkan melalui rectum, kandung kencing atau dinding perut tergantung pada lokus minoris resistensiae yang terbentuk.

Diagnosis

Pada kehamilan muda diketahui adanya perdarahan dan nyeri perut di bagian bawah. Penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti biasa, gejala gastroinstestinal nyata, dan gerakan anak dirasakan lebih nyeri. Pada kehamilan lebih lanjut pada pemeriksaan abdomen sering ditemukan kelainan letak janin.

Pada pemeriksaan vagina seringkali didapatkan serviks terletak tinggi di vagina dan biasanya tidak seberapa besar dan lembek seperti pada kehamilan intrauterine.

Penanganan

Pada kehamilan ektopik lanjut dengan janin hidup, dengan pecahnya kantong janin selalu ada bahaya perdarahan dalam rongga perut. Hal ini dapat timbul setiap waktu. Maka setelah diagnosis dibuat segera dilakukan operasi tanpa memandang tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter karena perdarahannya sangat banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa disengaja untuk sebagian lepas. Jika janin sudah meninggal, operasi perlu juga dilakukan tapi keadaannya tidak begitu mendesak. Setelah dinding perut dibuka janin dikeluarkan hati-hati, dan dihindarkan tarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat dipotong dekat pada plasenta, dan plasenta pada umumnya ditinggalkan.

Plasenta di sini – tidak seperti pada kehamilan intrauterine – berimplantasi pada dasar yang setelah plasenta diangkat, tidak berkontraksi dan menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka. Maka, jika plasenta diangkat, timbul perdarahan terus-menerus. Oleh sebab itu umumnya ditinggalkan.

Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh-pembuluh darah.

Dengan meninggalkan plasenta dalam rongga perut ada kemungkinan terjadi infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus. Tetapi walau demikian, sikap meninggalkan plasenta masih dapat dipertanggung jawabkan karena pengeluaran plasenta menimbulkan perdarahan demikian banyaknya sehingga penderita dapat meninggal pada waktu operasi.

Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan ektopik terganggu

1. Faktor mekanis

Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi ke dalam kavum uteri, antara lain:

– Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan implantasi hasil zigot pada tuba falopii.

– Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas, apendisitis, atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan lumen

– Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asesorius dan hipoplasi. Namun ini jarang terjadi

– Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi

– Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada adneksia

– Penggunaan IUD

2. Faktor Fungsional

– Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal

– Refluks menstruasi

– Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron

3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.

4. Hal lain seperti; riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta :  EGC.

Saifudin, Abdul Bari. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :YBP-SP

Saifudin, Abdul Bari. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :YBP-SP.

Sastrawinata, sulaiman. 1983. Obstetri Patologi. Elemen : Bandung

Wiknjosastro, hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta :  YBP-SP.

Wiknjosastro, hanifa. 2002. Ilmu Kandungan. Jakarta :  YBP-SP.